Viral Nenek Ditolak Bayar Tunai Di Toko Roti O, Ini Kata Ekonom Soal QRIS dan Kedaulatan Rupiah
Sebuah video yang beredar luas di media sosial menampilkan momen seorang pegawai toko roti menolak pembayaran tunai dari seorang nenek. Transaksi tersebut hanya bisa diselesaikan melalui pembayaran non-tunai seperti QRIS. Kejadian ini memicu perbincangan hangat mengenai aksesibilitas pembayaran di era digital.
Manajemen toko roti yang bersangkutan, melalui akun Instagram resminya @rotio.indonesia, memberikan klarifikasi. Pihaknya menyatakan bahwa penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai di gerai mereka bertujuan untuk memberikan kemudahan dan berbagai promo menarik bagi pelanggan.
“Saat ini kami sudah melakukan evaluasi internal agar ke depannya tim kami dapat memberikan pelayanan yang lebih baik,” tulis manajemen toko roti tersebut pada Senin (22/12/2025).
Kedaulatan Rupiah Dipertanyakan
Menanggapi fenomena ini, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, memberikan pandangan kritisnya. Ia mengakui bahwa inovasi pembayaran non-tunai seperti QRIS telah diadopsi secara luas oleh masyarakat Indonesia. Hal ini, menurutnya, mencerminkan kepercayaan publik yang kuat terhadap sistem keuangan nasional dan efektivitas kebijakan bank sentral dalam mendorong efisiensi serta inklusi keuangan.
Namun, Fakhrul mengingatkan bahwa berdasarkan undang-undang, Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia. Alat pembayaran ini terdiri dari uang kertas, uang logam, dan kelak akan ditambah dengan Rupiah digital yang diterbitkan oleh bank sentral.
“QRIS bukan mata uang. Ia adalah sistem pembayaran. Ketika orang membayar dengan QRIS, yang berpindah adalah saldo rupiah di rekening atau uang elektronik yang diterbitkan lembaga keuangan. Karena itu, menolak pembayaran tunai Rupiah tidak bisa dipandang sebagai sekadar kebijakan bisnis, melainkan menyangkut hak warga negara,” tegas Fakhrul dalam keterangan resminya, Senin (22/12/2025).
Inklusivitas Digital Jadi Kunci
Fakhrul Fulvian menekankan pentingnya kepastian hukum dalam hal alat pembayaran. Hal ini krusial agar tidak ada warga negara yang terpinggirkan dari aktivitas ekonomi hanya karena perbedaan akses atau preferensi terhadap teknologi pembayaran.
Menurutnya, selama seseorang memiliki alat pembayaran yang sah menurut undang-undang, transaksi seharusnya tidak ditolak. “Digitalisasi tidak boleh berubah menjadi eksklusif. Tidak semua warga berada pada posisi yang sama dalam hal literasi digital, akses perbankan, atau kesiapan teknologi. Negara harus memastikan bahwa modernisasi berjalan inklusif,” ujarnya.
Perdebatan ini, lanjut Fakhrul, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk edukasi publik yang lebih luas. Masyarakat perlu memahami perbedaan mendasar antara uang, sistem pembayaran, dan instrumen pembayaran lainnya. Ia mendorong otoritas moneter untuk memperkuat komunikasi publik guna mencegah kesalahpahaman di masyarakat.
“Penting bagi publik untuk memahami bahwa uang bukan sekadar alat bayar, tetapi juga simbol kedaulatan dan kepercayaan. Sistem pembayaran bisa berkembang dan dikelola dengan teknologi, tetapi uang yang sah tetap ditentukan oleh negara,” pungkasnya.