IHSG Terkoreksi, Investor Cermati Kebijakan Upah 2026

Iklan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali tertekan, ditutup melemah 0,37 persen ke level 8.614,18 pada penutupan sesi I perdagangan Selasa, 23 Desember 2025. Pelemahan ini terjadi di tengah dominasi sentimen domestik, terutama menjelang pengumuman upah minimum provinsi (UMP) 2026 yang dijadwalkan paling lambat 24 Desember 2025.

Koreksi indeks ini juga dibayangi oleh aksi ambil untung (profit taking) investor menjelang libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru), setelah IHSG mencatatkan kenaikan signifikan sepanjang tahun. Meskipun pada pembukaan sesi pagi IHSG sempat menguat tipis 0,42 persen ke level 8.645, tekanan jual kemudian mendominasi pasar.

Isu Upah Minimum dan Profit Taking Mendominasi

Pilarmas Investindo Sekuritas menjelaskan bahwa pelemahan IHSG hari ini tak lepas dari kehati-hatian investor dalam mengantisipasi pengumuman upah minimum di beberapa provinsi. Pembahasan mengenai formula upah minimum 2026 telah menimbulkan penolakan dari serikat pekerja maupun kelompok bisnis, menambah ketidakpastian di pasar. Sentimen domestik yang lemah ini turut diperparah dengan volume perdagangan yang menipis menjelang libur akhir tahun.

Selain itu, aksi profit taking menjadi faktor lain yang menekan IHSG. Sepanjang tahun 2025, IHSG telah melaju kencang dengan penguatan sebesar 21,73 persen secara year-to-date (YTD) hingga 18 Desember 2025, mencapai level tertinggi sepanjang sejarah di 8.776,97 pada Desember 2025. Kondisi ini wajar memicu investor untuk merealisasikan keuntungan dan melakukan realokasi portofolio untuk tahun 2026.

Kebijakan Moneter dan Arus Modal

Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 4,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Desember 2025. Keputusan ini diambil sebagai langkah antisipatif dan berwawasan ke depan untuk menjaga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada tahun 2025 dan 2026, serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global.

Iklan

Meskipun demikian, ada pandangan bahwa penahanan suku bunga acuan oleh BI, di saat Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) memangkas suku bunga ke kisaran 3,5-3,75 persen di bulan yang sama, bisa memengaruhi persepsi investor. Nilai tukar rupiah sendiri sempat melemah terhadap dolar AS pada pekan lalu, meskipun pada pembukaan perdagangan hari ini terpantau stabil di kisaran Rp16.640 per dolar AS.

Dari sisi arus modal, investor asing masih membukukan pembelian bersih pada awal perdagangan hari ini sebesar Rp1,34 triliun di seluruh pasar, dengan net buy di pasar reguler mencapai Rp779,51 miliar. Namun, secara kumulatif sepanjang tahun 2025 hingga 18 Desember, investor nonresiden masih mencatat jual neto sebesar Rp25,04 triliun di pasar saham.

Dampak Global dan Prospek Mendatang

Sentimen global juga turut memengaruhi pergerakan IHSG. Pasar masih mencerna data ekonomi penting Amerika Serikat, termasuk penjualan ritel, ketenagakerjaan, dan inflasi, yang tertunda akibat penutupan pemerintahan sebelumnya. Ekspektasi penurunan suku bunga lanjutan oleh The Fed pada tahun 2026, yang diperkuat oleh data tenaga kerja AS yang lebih lemah, memberikan sinyal positif bagi pasar global.

Namun, perlambatan ekonomi China, yang tercermin dari indikator seperti penjualan ritel dan produksi industri yang lebih lemah dari perkiraan, masih menjadi kekhawatiran. Risiko fiskal domestik, seperti potensi pelebaran shortfall penerimaan pajak pada tahun 2025, juga menjadi perhatian bagi pelaku pasar.

Melihat ke depan, beberapa analis pasar modal tetap optimistis terhadap prospek IHSG pada tahun 2026. Kiwoom Sekuritas Indonesia memproyeksikan IHSG dapat menembus level 10.000 pada tahun 2026, didukung oleh valuasi saham Indonesia yang masih relatif undervalued dibandingkan pasar AS. BRI Danareksa Sekuritas juga memperkirakan IHSG berpotensi mencapai 9.440 pada akhir 2026, didorong oleh pemulihan laba perusahaan tercatat dan sentimen investor yang membaik.

Konsensus proyeksi IHSG pada tahun 2026 berada di kisaran 9.000 hingga 10.000, realistis dengan dukungan fundamental domestik yang kuat, kebijakan moneter yang lebih longgar, serta potensi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Namun, investor disarankan untuk tetap waspada terhadap dinamika geopolitik dan risiko eksternal lain yang dapat memengaruhi arus modal asing.

Iklan