
Ketika Ruben Amorim resmi ditunjuk sebagai manajer Manchester United, euforia sempat menyelimuti Old Trafford. Mantan pelatih Sporting Lisbon itu datang dengan reputasi sebagai arsitek muda berani yang sukses menorehkan catatan manis di Portugal.
Filosofi tiga bek yang ia kembangkan disebut sebagai sesuatu yang modern, progresif, dan penuh identitas. Di tengah krisis panjang pasca-Ferguson, United dianggap membutuhkan sosok yang mampu menghidupkan kembali aura klub raksasa dengan sistem yang jelas.
Namun, Liga Inggris bukanlah Liga Portugal. Kompetisi lebih ketat, intensitas lebih tinggi, dan sorotan publik jauh lebih keras. Apa yang di Lisbon terlihat sebagai inovasi, di Manchester mulai terbaca sebagai dogma. Amorim yang dulu dielu-elukan sebagai pembawa harapan kini mulai dituding sebagai sosok keras kepala.
Statistik yang Mengecewakan
Catatan di lapangan tidak bisa berbohong. Dari 49 pertandingan yang sudah dijalani sejak ditunjuk sebagai pelatih United, Amorim hanya mampu mencatat persentase kemenangan sekitar 36 persen. Angka ini merupakan yang terburuk bagi manajer permanen United sejak era Perang Dunia II.
Statistik lain menyebutkan, United hanya mengumpulkan 34 poin dari 33 pertandingan liga musim lalu dan finis di posisi 15 klasemen. Musim baru pun berjalan tak lebih baik: setelah tujuh laga, mereka masih terpaku di urutan 14 klasemen, dengan hanya dua kemenangan, dan sudah tersingkir dari Carabao Cup setelah kalah memalukan dari Grimsby, klub kasta keempat.
Lebih buruk lagi, sejak Amorim berkuasa, United belum pernah mencatat dua kemenangan beruntun di Premier League.
Filosofi yang Tak Bisa Diganggu Gugat
Di tengah tekanan yang semakin menumpuk, Amorim tetap bersikukuh. Saat ditanya tentang kemungkinan mengganti formasi, ia justru mengeluarkan pernyataan yang viral: “Bahkan paus pun tidak bisa membuat saya mengubah sistem ini,” ujar Amorim dikutip dari Reuters.
Hanya beberapa hari kemudian, setelah timnya dihajar Manchester City 3-0 di derby, Amorim kembali menegaskan keteguhannya. “Saya tidak akan berubah. Jika saya ingin mengubah filosofi saya, saya yang akan memutuskan. Jika tidak, maka Anda harus mengubah orangnya,” tegasnya dalam wawancara yang dikutip ESPN.
Dua kalimat itu—”Not even the Pope…” dan “change the man”—menjadi potret jelas tentang sikap Amorim. Filosofi baginya adalah identitas, bukan sekadar pilihan taktis. Namun, bagi publik, pernyataan itu memperkuat citra dirinya sebagai sosok kepala batu yang menolak beradaptasi meski bukti kegagalan ada di depan mata.
Kritik Tajam dari Legenda dan Media
Sikap Amorim tidak dibiarkan begitu saja. Gary Neville, legenda United, termasuk yang paling vokal. Dalam tayangan di Sky Sports, Neville menilai keputusan memainkan Mason Mount sebagai bek sayap adalah langkah yang “terlihat bodoh”, dan menyebut bahwa arah taktik United di bawah Amorim semakin mengkhawatirkan.
The Independent menyoroti kelemahan struktural United yang kerap kalah jumlah di lini tengah akibat keras kepala dengan formasi 3-4-3. Situasi ini membuat lawan mudah mengeksploitasi celah di area vital permainan. Tulisan itu menekankan bahwa Amorim terlalu sibuk mempertahankan ide ketimbang menyesuaikan diri dengan realitas Premier League.
Artikel tersebut bahkan menutup dengan kalimat sarkastis: “Mungkin ada metode di balik kegilaan itu, atau mungkin itu hanya kegilaan.” Kritik ini mempertegas bahwa masalah United bukan semata hasil, melainkan dogmatisme taktis yang membuat tim sulit berkembang.
Kekalahan demi Kekalahan
Krisis semakin nyata setelah rentetan kekalahan yang menumpuk. United dihajar Manchester City 3-0 dalam derby, laga yang memperlihatkan betapa mudahnya lawan mengeksploitasi kelemahan di lini tengah dan transisi mereka. Kekalahan telak itu memicu desakan agar Ruben Amorim lebih fleksibel, tetapi ia justru kembali mengunci dirinya pada filosofi tiga bek yang kaku.
United sempat memberi sedikit harapan dengan menekuk Chelsea dengan skor 2-1, tetapi momentum positif itu tidak bertahan lama.
Terakhir ketika mereka kalah 3-1 dari Brentford di Premier League. Igor Thiago mencetak dua gol yang membuat United tertinggal, lalu Mathias Jensen memastikan kemenangan tuan rumah di akhir laga. United hanya mampu membalas lewat gol Benjamin Šeško, sementara Bruno Fernandes gagal mengonversi penalti menjadi gol. Hasil itu menjadi pukulan telak yang semakin mengguncang posisi Amorim di Old Trafford.
Kekalahan dari Brentford juga memperpanjang catatan buruk United yang hingga kini belum pernah meraih dua kemenangan beruntun di Premier League sejak Amorim mengambil alih. Sebuah fakta yang menegaskan betapa masalah konsistensi masih membelenggu tim.
Antara Idealisme dan Realitas
Dalam sepak bola modern, ada banyak pelatih ideologis, tetapi sedikit yang menolak beradaptasi. Pep Guardiola adalah contoh klasik seorang ideolog, tetapi fleksibilitasnya justru membuat sistemnya terus relevan. Jurgen Klopp pun merubah Liverpool dari tim dengan pressing ekstrem menjadi tim yang lebih terukur.
Amorim justru terlihat menempatkan filosofi di atas segalanya, bahkan ketika skuad United jelas tidak mendukung sistemnya. Dengan kata lain, idealisme Amorim kini lebih sering dibaca sebagai keras kepala.
Ujian Selanjutnya: Manchester United vs Sunderland
Semua tekanan itu kini berpuncak pada laga-laga mendatang. United akan menjamu Sunderland di Old Trafford pada Sabtu, 4 Oktober. Laga ini bukan hanya soal tiga poin, tetapi soal pembuktian: apakah sistem tiga bek yang selama ini dipertahankan bisa memberi hasil nyata?
Kekalahan dari Brentford dan bahkan Grimsby Town menjadi pengingat bahwa masalah United bukan sekadar kalah melawan tim besar, tetapi juga tergelincir di pertandingan yang seharusnya bisa dimenangkan. Karena itu, pertandingan melawan Sunderland menjadi ujian hidup-mati. Strategi dan filosofi Ruben Amorim kembali diuji.
Pada akhirnya, sosok Ruben Amorim kini berdiri di persimpangan. Bagi sebagian orang, ia adalah pemimpin dengan prinsip kuat, konsisten, dan berani menghadapi badai. Namun bagi banyak pihak, ia hanyalah seorang kepala batu yang terlalu terpaku pada sistem hingga melupakan realitas.
Amorim sendiri sudah memberi jawaban: “Jika sistem ingin diubah, maka ubahlah orangnya”. Pernyataan itu mungkin terdengar tegas, tetapi juga bisa berarti pengakuan bahwa ia tidak akan pernah menanggalkan filosofi tiga bek yang ia yakin.
Kini, nasibnya tidak lagi ditentukan oleh kata-kata, melainkan oleh hasil. Dan di klub sebesar Manchester United, hasil adalah mata uang yang paling berharga. Tanpa itu, bahkan filosofi paling brilian pun tak akan mampu bertahan.
