AC Milan dan AS Roma Masih Lemah di Lini Depan, Tapi Tetap Jadi Kandidat Scudetto

Sumber: Getty Images Sport
Dalam sejarah panjang sepak bola, hampir mustahil sebuah tim meraih gelar juara tanpa memiliki penyerang tajam. Namun musim ini, AC Milan dan AS Roma tampaknya sedang mencoba menulis ulang hukum tersebut. Kedua raksasa Serie A itu mampu bersaing di papan atas meski lini depan mereka masih tumpul dan belum menemukan sosok predator sejati di kotak penalti.
Fenomena ini menjadi perbincangan hangat di Italia. La Gazzetta dello Sport menyoroti bagaimana dua klub besar tersebut bisa tetap produktif meski minim kontribusi dari striker murni. Bahkan filosofi “false nine” ala Pep Guardiola pun terbukti tak sepenuhnya tanpa penyerang tengah, karena pada akhirnya ia tetap merekrut Erling Haaland untuk memastikan ketajaman lini depan Manchester City.
Di Serie A 2025/2026, tak satu pun penyerang berhasil tampil menonjol sejauh 11 pekan berjalan. Tidak ada striker yang mencetak lebih dari empat gol. Kondisi ini tentu tak lazim di liga yang selama ini dikenal melahirkan para penyerang legendaris seperti Batistuta, Trezeguet, hingga Ibrahimović. Namun anehnya, Milan dan Roma tetap stabil di posisi atas.
Ketajaman yang Menghilang, Strategi yang Berevolusi
AS Roma dan AC Milan kini menjadi dua contoh nyata tim yang mampu bertahan di papan atas tanpa kehadiran penyerang tajam. Roma saat ini duduk di posisi dua klasemen dengan performa impresif, meski dua penyerang mereka, Artem Dovbyk dan Lewis Ferguson, baru mencetak dua gol dan kini sama-sama cedera.
Di sisi lain, Milan yang dilatih Massimiliano Allegri juga menghadapi masalah serupa. Santiago Gimenez, rekrutan baru yang diharapkan menjadi mesin gol, masih belum membuka rekening golnya di Serie A. Meskipun demikian, Milan tetap berada di posisi tiga besar berkat kontribusi dari lini kedua dan kekompakan tim.
Kedua pelatih pun bereaksi dengan cara berbeda. Gian Piero Gasperini di Roma menerapkan permainan transisi cepat dan pressing tinggi. Ia membangun tim yang efisien dalam memanfaatkan peluang sekecil apa pun. Gol yang dicetak Mehmet Celik ke gawang Udinese menjadi contoh konkret: lahir dari kerja sama antara bek dan gelandang, bukan striker.
Sementara itu, Allegri di Milan lebih menekankan permainan vertikal yang dinamis. Ia memaksimalkan kemampuan Luka Modric untuk mengatur tempo serangan dan membuka ruang bagi dua sayap utama, Christian Pulisic dan Rafael Leao. Keduanya didorong lebih agresif untuk masuk ke kotak penalti dan mencetak gol dari posisi sayap.
Gol Kolektif Jadi Kekuatan Baru
Minimnya kontribusi striker membuat Milan dan Roma kini bergantung pada kekuatan kolektif. Dalam 11 pertandingan awal, Roma sudah memiliki tujuh pencetak gol berbeda, sementara Milan bahkan punya sembilan pemain yang mencatatkan nama di papan skor. Pola distribusi gol ini menunjukkan kedalaman skuad sekaligus keseimbangan antar lini.
Namun, sejarah Serie A menunjukkan bahwa hampir semua peraih Scudetto selalu memiliki penyerang andalan dengan dua digit gol per musim. Oleh karena itu, banyak pihak menilai bahwa baik Milan maupun Roma tetap membutuhkan striker tajam jika ingin menuntaskan musim sebagai juara.
Kondisi ini berpotensi memengaruhi strategi mereka di bursa transfer Januari mendatang. Dengan performa stabil sejauh ini, tak menutup kemungkinan manajemen akan berinvestasi untuk menambah kekuatan di lini depan. Nama-nama seperti Jonathan David dan Benjamin Šeško disebut bisa masuk radar kedua tim tersebut.
Mentalitas dan Kolektivitas Jadi Pembeda
Meski dihadapkan pada masalah ketajaman, baik Milan maupun Roma menunjukkan karakter yang kuat. Para pemain tampak menikmati kebersamaan dan tanggung jawab kolektif untuk mencetak gol. Mereka sadar bahwa tanpa striker tajam, satu-satunya cara bertahan di jalur juara adalah dengan disiplin taktis dan kerja sama tanpa cela.
Filosofi inilah yang membuat keduanya berbeda musim ini. Ketika banyak tim bergantung pada satu bintang di depan, Milan dan Roma justru membangun sistem yang memungkinkan siapa pun menjadi pahlawan. Sebuah pendekatan yang jarang berhasil, tetapi kini sedang berjalan dengan efektif di Serie A.
Jika tren ini berlanjut hingga akhir musim, bukan tak mungkin Milan atau Roma akan menjadi contoh baru dalam sejarah sepak bola Italia bahwa Scudetto bisa diraih bukan oleh tim dengan pencetak gol terbanyak, melainkan oleh tim dengan semangat kolektif paling kuat.
