DM, BLITAR – Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 untuk Kota Blitar menghadirkan pengakuan mengejutkan dari kuasa hukum pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Bambang Rianto dan Bayu Setyo Kuncoro. Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), kuasa hukum pemohon, Hendi Priono, mengakui bahwa gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil sesuai ketentuan Undang-Undang Pilkada.
“Meskipun secara formil tidak memenuhi syarat, karena di daerah pemilihan kami seharusnya maksimal bedanya 2% tapi di sini melebihi 2%,” ujar Hendi Priono dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel 2 MK, Jakarta, Rabu (8/1/2025).
Sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK, Saldi Isra, didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, membahas ambang batas selisih suara sebagai syarat formil pengajuan gugatan. Ketua Panel Saldi Isra pun menanyakan perihal selisih suara antara pemohon dengan pasangan calon terpilih.
“Ini selisih suaranya berapa?” tanya Saldi Isra.
“Selisih suaranya 6000 suara atau apabila menggunakan ukuran UU Pilkada, 6%, Yang Mulia,” jawab Hendi Priono.
Hasil rekapitulasi menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut 2, Syauqul Muhibbin dan Elim Santoso, unggul dengan perolehan suara 49 ribu, sementara pasangan Bambang-Bayu memperoleh 43 ribu suara.
Ambang Batas yang Tidak Terpenuhi
Persyaratan formil untuk mengajukan gugatan di MK diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Ketentuan tersebut menetapkan ambang batas selisih suara berdasarkan jumlah penduduk di wilayah terkait:
- 2% untuk wilayah dengan penduduk di bawah 250 ribu jiwa.
- 1,5% untuk wilayah dengan penduduk 250 ribu hingga 500 ribu jiwa.
- 1% untuk wilayah dengan penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa.
- 0,5% untuk wilayah dengan penduduk di atas 1 juta jiwa.
Berdasarkan ketentuan ini, Kota Blitar yang memiliki jumlah penduduk di bawah 250 ribu jiwa mengharuskan selisih suara maksimal 2%. Namun, selisih suara 6000 atau 6% antara kedua pasangan calon melampaui ambang batas tersebut, sehingga gugatan dinilai tidak memenuhi syarat formil.
Pengakuan Kuasa Hukum
Hendi Priono mengakui bahwa kondisi ini menjadi kelemahan mendasar dalam gugatan yang diajukan. Namun, persidangan tetap berjalan untuk memeriksa substansi perkara.
Sidang ini menunjukkan pentingnya memperhatikan aturan formil sebelum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, terutama dalam konteks sengketa hasil Pilkada. Di sisi lain, pengakuan terbuka kuasa hukum pemohon juga menjadi refleksi terhadap proses hukum yang mengedepankan transparansi dan kejujuran.
Dengan kondisi tersebut, perhatian kini tertuju pada langkah-langkah selanjutnya dari tim hukum pasangan Bambang-Bayu, serta keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi.
Penulis: DANI ELANG SAKTI
Discussion about this post