DM – Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag terus berupaya meningkatkan kualitas layanan ibadah haji. Kompetensi pembimbing ibadah terus ditingkatkan, salah satunya dengan menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk pembimbing ibadah haji.
Dirjen PHU Hilman Latief mengatakan, standar kompetensi pembimbing manasik haji diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Dalam Pasal 32 UU No 8/2019 disebutkan bahwa pembimbing manasik haji sebagai pelaksana bimbingan manasik haji dan umrah kepada jemaah harus memiliki standar kompetensi kerja.
“Standar kompetensi ini akan kita tingkatkan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Sebelumnya kita masih menggunakan Standar Kompetensi Khusus (SKK) yang hanya berlaku secara internal Kementerian Agama,” terang Hilman Latief saat membuka Penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Pambimbing Manasik Haji di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Hadir, Direktur Bina Haji Arsad Hidayat, Direktur Bina Standarisasi Kompetensi Kementerian Tenaga Kerja RI, M. Amir Syarifuddin, dan Kasubdit Bimbingan Jemaah selaku Ketua Pelaksana, Khalilurrahman. Giat ini diikuti perwakilan dari Kadin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Lembaga Sertifikasi Profesi, Balitbang Diklat Kemenag, Biro Hukum Setjen Kemenag, dan Tim Ditjen PHU.
“Ke depannya, SKK akan kita upgrade menjadi SKKNI yang nantinya akan ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja sebagai lembaga negara yang salah satu kewenangannya adalah menetapkan standar kompetensi,” sambungnya.
Dijelaskan Hilman, standar kompetensi Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah meliputi Knowladge (pengetahuan), skill (keterampilan) dan Attitude (sikap). Tiga kompetensi ini sangat penting dimiliki pembimbing manasik dan akan digunakan sebagai referensi dalam pelaksanaan sertifikasi pembimbing ibadah haji.
Sebab, tantangan ke depan semakin kompleks. Misalnya, kuota haji yang sangat banyak. Indonesia tahun ini mendapat kuota sebanyak 221.000. Ini belum termasuk jemaah non kuota yang juga banyak. Mereka berangkat ke Arab Saudi dengan menggunakan visa ziarah.
Tantangan lainnya, adalah konfigurasi jema’ah haji Indonesia yang unik. Dari sisi usia, jumlah lansia juga semakin tinggi. Jenjang pendidikan jema’ah juga sangat beragam, bahkan yang hanya sampai SD sangat banyak.
“Pembimbing tidak cukup dengan paham dalil-dalil saja atau tahapan ritual haji saja. Pembimbing harus paham juga kondisi di lapangan dan mampu memberikan pengarahan kepada jema’ah kita,” sebut Hilman.
“Para pembimbing diharapkan paham betul kondisi jemaah ketika manasik. Paham juga akan kondisi kesehatan jema’ah. Sehingga dapat memberikan arahan dan solusi ibadah terbaik buat jema’ahnya,” lanjutnya.
Hilman menambahkan, dalam pelaksanaan Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji, Ditjen PHU menjalin kerja sama dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang telah memenuhi kualifikasi. “Ini agar proses sertifikasi menghasilkan pembimbing manasik haji yang dapat membimbing para jemaah haji dengan baik,” tandasnya.
Sumber: kemenag.go.id
Editor: Tiara
Discussion about this post