
Opini – Mencermati pemberitaan akhir-akhir ini baik di media cetak, media online maupun media sosial terkait perbuatan Oknum Lurah di Kota Tanjungpinang dan seorang guru di salah satu sekolah Islam yang diduga telah melakukan pencabulan terhadap 2 (dua) orang anak di bawah umur.
Yang makin membuat hati miris mendengar pemberitaan tersebut adalah sebuah fakta pelaku masih terhitung paman dari korban yang sebelumnya juga telah mengalami peristiwa pelecehan yang dilakukan oleh onum guru korban.
Alih-alih sang paman yang menjabat sebagai lurah tersebut melaporkan curhatan keponakannya yang telah menjadi korban perbuatan oknum gurunya ke ranah hukum, malah menjadikan peristiwa pelecehan tersebut sebagai pintu masuk untuk menekan korban, agar perbuatan bejatnya untuk melakukan perbuatan serupa dapat berjalan mulus.
Selaku seorang ibu dan Dosen yang bergerak dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini di STAIN Abdurrahman Kepulauan Riau tersentak dan pilu mendengar kejadian tersebut. bahkan penulis berfikir bahwa mungkin masih banyak kejadian serupa di luar sana yang belum terungkap dan mencuat kepermukaan, yang mana hal tersebut bisa menjadi fenomena gunung es dan membahayakan masa depan anak-anak kita, khususnya di Kepulauan Riau.
Berdasarkan data yang penulis kutip dari https://bpppa.kepriprov.go.id/index.php/beranda-dummy/selamatkan-anak-kepri-dari-kekerasan-pornografi, Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Kepri mengatakan sebanyak 60 % (enam puluh persen) anak-anak Indonesia maupun Kepri pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Data anak-anak provinsi Kepri berjumlah 640 atau sekitar 32 persen dari jumlah total keseluruhan penduduk Kepri sekitar 1,9 juta. Berdasarkan survei 200 ribu anak-anak Provinsi Kepri pernah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual. Dari angka 5 tahun terakhir dapat dilihat bahwa kasus-kasus kejahatan terhadap anak, dimana pada tahun 2017 sekitar 249 kasus, 2018 sekitar 227 kasus, 2019 sekitar 240 kasus, dan tahun 2020 sekitar 242 kasus.
Dari 242 kasus ditahun 2020, hampir 100 diantaranya merupakan kasus kekerasan fisik, psikis, perantaran, dan tindak pidana perdagangan orang. Dari data tersebut banyak terjadi di Kota Batam sebanyak 50 dari 115 kasus hampir 40 persen. Sementara Tanjungpinang terjadi sekitar 25 persen, dengan kekerasan fisik ada 75 kasus, psikis 55 kasus, perantaran 40 kasus, dan tindak pidana perdagangan orang 8 kasus.
Bahkan 5 (lima) tahun terakhir didominasi oleh anak-anak adalah kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual salah satunya di Kota Batam 1,9 juta penduduk, 60 persen diantaranya jadi ramainya kasus kekerasan didominasi oleh Kota Batam.
Dalam Konvensi Internasionall terkait Hak Anak (Convention in the right of the Children) telah menempatkan anak sebagai subjek hukum yang harus dilindungi berserta semua hak-haknya. Indonesia sebagai salah satu negara peserta Konvensi beserta negara lainnya berkewajiban untuk meratifikasi dan menerapkan perlindungan hukum serta jaminan terhadap kepentingan hak anak.
Konvensi ini juga sejalan dengan Deklarasi PBB Tahun 1986, yang menempatkan anak sebagai bagian dari kelompok rentan sehingga secara internasional PBB melairkan organisasi yang khusus menangani masalah anak dalam wadah UNICEF (United International Children Education og Fund).
Melihat pentingnya perlindungan terhadap anak sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa guna menjaga dan memelihara tumbuhkembang dan menjamin kwalitas anak agar bisa tumbuh menjadi sosok yang sehat, cerdas dan menjadi pelanjut sebuah bangsa di masa mendatang, menyadari hal tersebut, negara Indonesia secara konstitusional memberikan jaminan atas kesejahteraan anak agar bisa tumbuh secara optimal baik secara fisik, mental, sosial maupun spritual.
Namun dalam realitas kehidupannya, anak dalam proses tumbuh kembang tersebut akan melakukan interaksi baik secara individu maupun interaksi sosial yang melibatkan banyak pihak. Dalam setiap interaksi tersebut tentu terdapat potensi terjadinya pelanggaran hak terhadap anak yang berujung pada timbulnya kerugian baik secara fisik maupun psikis. Bentuk pelanggaran atau kejahatan terhadap anak yang sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia adalah Tindak Pidana kekerasan terhadap anak.
Secara mental dan psikis kondisi anak yang belum matang dan masih dalam perkembangan ketika berhadapan dengan tindak kejahatan atau menjadi korban kekerasan perlu mendapatkan perhatian khusus karena hal tersebut dapat mengakibatkan terganggunnya perkembangan mental dan fisik anak serta trauma yang berkepanjangan dan bahkan tidak tertutup kemungkinan akan berakhir dengan kematian.
Selain landasan konstitusional dan yuridis operasional yang tertuang dalam KUHP dan yang diberikan negara terkait Perlindungan terhadap anak pemerintah telah pula membentuk berbagai peraturan perundangt-undangan agar perlindungan terhadap anak dapat dilakukan secara maksimal, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjadi Undang-Undang, sedangkan untuk mengatur formilnya telah pula hadir Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak.
Adapun bentuk perlindungan yang diberikan oleh aturan tersebut di atas secara formal sudah sangat rigit dan lengkap, mulai dari penganan kasus yang cepat, pendampingan psikososial, pendampingan dan perlindungan pada setiap tingkatan proses, pemberian sanksi yang keras kepada pelaku kejahatan serta penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban dan restitusi terhadap korban. Namun realitasnya semua hal tersebut masih belum mampu menurunkan angka kejahatan terhadap anak. Apa yang salah?
Bahwa kegiatan perlindungan anak tidak bisa lepas dari 2 (dua) aspek, yakni: Pertama, Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur substansi perlindungan terhadap anak dan Kedua, pelaksanaan kebijakan dan penerapan aturan tersebut. Aspek kedua ini lebih menekankan kepada konsistensi aparat penegak hukumnya mulai dari Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara anak bagaimana kepedulian dan rasa keadilan bagi pihak korban dapat terfasilitasi dengan baik melalui pencarian nurani kebenaran sebagaimana tujuan dari hukum pidana itu sendiri yakni substantial truth sehingga setiap langkah yang dilakukan dapat memberikan keadilan bagi korban.
Selain dari persoalan proses hukum, peran aktif keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, para pendidik dan lingkungan juga sangat dibutuhkan untuk memberikan perlindungan dan pencerahan kepada semua pihak guna memberikan perlindungan, dukungan moral dan pemahaman yang benar terkait pendidikan seks kepada anak-anak agar mereka sejak dini bisa mengantisipasi diri terhindar dari kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual.
Selain itu sosialisasi secara masif undang-undang perlindungan anak perlu dilakukan kepada semua pihak oleh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang Perlindungan anak, baik pemerintah, Kelompok Sosial Masyarakat (NGO) maupun pihak akademisi agar hak-hak anak yang menjadi korban dapat dipenuhi secara optimal sesuai ketentuan yang berlaku serta memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa besar dan tingginya sanksi bagi para pelaku kejahatan terhadap anak. Diharapkan tentu partisipasi masyarakat dalam mengawal dan mengawasi setiap proses penanganan perkara perliindungan anak agar pihak berwenang dapat memberikan efek jera sebagai bentuk tindakan antisipatif bagi yang lain.
Kembali kepada perbuatan kasus pencabulan yang dilakukan secara berulang oleh oknum Lurah di Kota Tanjungpinang yang notabene adalah paman dari 2 (dua) korban anak dan oknum guru dari korban pelecehan seksual.
Dimana secara hukum para pelaku adalah orang atau pihak yang semestinya menjadi pelindung bagi korban sehingga patut hal tersebut menjadi alasan pemberat dan kepada Aparat Penegak Hukum menjadikan Puutusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan Hukum tetap sebagai Yurisprudensi diantaranya Putusan Pengadilan negeri Sukadana Lampung yang memberikan putusan dengan menjatuuhkan Pidana 20 tahun penjara dan denda Rp. 800 juta subidiair 3 bulan kurungan serta dijatuhi Pidana Tambahan berupa Kebiri secara kimia dan Restitusi untuk korban serta Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor: 69/Pid.sus/2019/ PN.Mjk pada 02 Mei 2019 yang menjatuhkan terdakwa hukuman selama 12 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah subsidair 6 bulan kurungan serta Hukuman Tambahan berupa Kebiri Kimia. Apalagi saat ini Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2020 telah menjadi payung hukum dalam pelaksanaan Putusan Kebiri.
Semoga kualitas perlindungan anak di Indonesia khususnya di Kepulauan Riau makin baik dan tidak ada lagi anak-anak kita yang menjadi korban kekerasan seksual yang dapat merusak masa depan mereka. Dan Kepulauan Riau dapat mewujudkan Desa/ Kelurahan yang ramah anak sebagaimana amanah Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor: 7 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dan Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Nomor: 12 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Desa/ Kelurahan Bebas Kekerasan terhadap perempuan dan Anak dimana Lurah/ Kepala Desa adalah selaku Satgas yang bertanggungjawab untuk mewududkan itu, bukan malah menjadi pelaku.
Discussion about this post